Ada alasan tokoh besar seperti Socrates justru muncul di Athena dan raksasa teknologi seperti Apple dan Google, tumbuh di Silicon Valley. Semua itu bukanlah suatu kebetulan. Fenomena tersebut dikupas secara tajam dalam buku The Geography of Genius karya Eric Weiner. Dalam karyanya, ia yang menyampaikan satu pesan utama, kejeniusaan tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dari tanah yang subur secara sosial, budaya, dan geografis.
Weiner menelusuri bagaimana berbagai peradaban besar menciptakan “kantong kejeniusaan” di titik-titik tertentu sepanjang sejarah. Athena masa klasik dan Silicon Valley era digital memiliki satu kesamaan yaitu semuanya membentuk ekosistem yang mendukung tumbuhnya ide. Mereka mendorong kreativitas, membuka ruang diskusi, merangsang pemikiran bebas, dan menyediakan akses ke sumber daya serta kolaborasi. Di sinilah benih-benih ide besar bukan hanya disemai, tetapi juga dirawat hingga tumbuh menjadi karya-karya yang mengubah dunia.
Kejeniusaan bukan sekadar warisan genetik atau bakat bawaan. Ia adalah hasil interaksi kompleks antara individu dan lingkungannya. Lingkungan yang mendorong eksplorasi intelektual, memberikan ruang untuk mencoba dan gagal, serta memfasilitasi kolaborasi lintas disiplin, terbukti menjadi fondasi utama lahirnya inovasi. Bahkan, data American Psychological Association menunjukkan bahwa lingkungan rumah yang stabil dan suportif dapat meningkatkan IQ anak hingga 20 poin.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan suportif memiliki karakteristik yang menonjol. Mereka lebih percaya diri menghadapi tantangan, lebih kreatif menyelesaikan masalah, dan lebih berani menyampaikan ide tanpa takut dihakimi. Secara lebih luas, lingkungan bukan hanya soal lokasi fisik, tapi juga atmosfer budaya yang dibangun. Dalam konteks ini, apakah ide-ide dihargai, apakah pertanyaan dipersilakan, dan apakah inovasi diberi tempat untuk tumbuh. (Fio/2025)