Beberapa waktu lalu, pemerintah telah meluncurkan kebijakan baru terkait Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor properti. Program ini menjadi terobosan besar karena untuk pertama kalinya KUR diarahkan langsung ke sektor properti. Program ini menyasar untuk pengembang kecil, kontraktor, toko bahan bangunan, hingga pelaku UMKM yang membutuhkan tempat usaha.
Latar belakang terjadinya program ini karena Indonesia masih menghadapi backlog perumahan sekitar 9,9 juta unit. Dengan adanya KUR properti, pemerintah berharap kebutuhan rumah dapat terpenuhi dan dapat membuka lapangan pekerjaan baru.
KUR Properti sendiri adalah pinjaman modal dengan bunga ringan. Hal ini karena pemerintah memberikan subsidi bunga sebesar 5%, sehingga beban bunga yang ditanggung pelaku usaha menjadi lebih rendah dibanding kredit komersial biasa. Program ini ditujukan untuk pelaku usaha di bidang perumahan dan properti. Program ini dibagi menjadi dua skema, yaitu KUR Properti Supply dan KUR Properti Demand.
KUR Properti Supply adalah skema yang ditujukan untuk pengembang kecil, kontraktor, dan penyedia bahan bangunan. Pinjaman maksimal dari skema ini sebesar Rp 5 miliar per akad dan bisa diputar kembali (revolving) hingga total plafon Rp 20 miliar.
Sedangkan untuk KUR Properti Demand ditujukan bagi UMKM yang membutuhkan tempat usaha atau perumahan. Pada kategori ini, plafon pinjaman maksimal adalah Rp 500 juta dengan bunga tetap, sehingga lebih terjangkau untuk usaha kecil yang baru berkembang.
Syarat pengajuan KUR Properti dapat terbilang mudah. Pemilik usaha harus punya NIB (Nomor Induk Berusaha), sudah menjalankan usaha minimal 6 bulan, dan terdaftar di SIKP (Sistem Informasi Kredit Program).
Hadirnya program ini membuka peluang besar untuk pelaku usaha properti dan UMKM pendukungnya. Dengan bunga rendah dan skema plafon yang cukup besar, KUR diharapkan menjadi tangga untuk UMKM berkembang dan naik kelas. Setelah mencapai Rp 20 miliar, usaha yang berkembang dapat melanjutkan pembiayaan di kredit komersial bank. (Sha/2025)